15 Maret 2011

Agenda Anti Tembakau: Untuk Kepentingan Siapa?


Sangat kuat kesan dan indikasi bahwa kepentingan kesehatan publik (public health) dengan segala kampanye bahaya tembakau hanyalah bungkusan (packaging) dari motif kepentingan bisnis perdagangan produk-produk NRT ini. Atau semacam strategi pemasaran dari produk-produk NRT ini.

Perang nikotin sebagaimana digambarkan Wanda Hamilton sudah nyaris dimenangkan oleh korporasi-korporasi farmasi internasional dengan suksesnya kampanye global anti tembakau yang mendapat dukungan penuh dari badan internasional kesehatan dunia, WHO, dan para NGO anti tembakau.

Gencarnya perang global melawan tembakau itu diawali dengan peluncuran Prakarsa Bebas Tembakau (Free Tobacco Inisitiative) yang merupakan salah satu dari tiga WHO Cabinet Project. Program ini merupakan pelaksanaan kebijakan WHO "Health for All in the 21st Century" (Kesehatan untuk Semua di Abad 21) di bawah rejim Direktur Jenderal WHO, Dr. Gro Harlem Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia. Dokter dan politisi kawakan ini terpilih jadi pimpinan WHO pada bulan Mei 1998.

Proyek Prakarsa Bebas Tembakau ini langsung dapat dukungan dana dari tiga korporasi farmasi besar, yakni Pharmacia & Upjohn, Novartis dan GlaxoWellcome. Dalam pidato Brundtland di acara World Economic Forum di Davos, Switzerland, tanggal 30 Januari 1999, Brundtland umumkan kemitraan proyek (Partnership Project) ini.

Mengapa ketiga korporasi ini menyumbangkan dana dukungan bag! Prakarsa Bebas Tembakau WHO ini? Pernyataan dalam pidato Brundtland menjawab pertanyaan ini, "They all manafucture treatment products against tobacco dependence" - ketiga korporasi tersebut adalah manufaktur produk-produk Nicotine Replacement Treatment (NRT).

Hasil riset dan kajian Wanda Hamilton dalam buku Nicotine War menunjukkan kepentingan bisnis dari korporasi-korporasi farmasi internasional dalam agenda pengontrolari tembakau ini. Kenneth Warner, John Slade, dan David Sweanor dalam artikel berjudul "The Emerging market for long-term nicotine maintenance" (Journal of the American Medical Assn., Oct., 1, 1997), menggambarkan, sebagai berikut:

"... a series of technological, economic, political, regulatory and social developments augurs a strange bedfellows competition in which these industries [tobacco and pharmaceutical] will vie for shares of a new multibillion dollar long-term nicotine-maintanance market.

Wanda Hamilton adalah seorang penulis dan pensiunan akademisi. Dia telah meraih gelar M.A. dan telah tuntas menyelesaikan tiga tahun studi tingkat doktoral di Bowling Green State University, Ohio.

Di samping mengajar di tiga universitas, Hamilton bekerja sebagai jurnalis, sebagai seorang spesialis perpustakaan, dan administrator suatu kelompok yang disebut "a group home for adolescent girls". Selama sembilan tahun terakhir Wanda menjadi seorang periset independen and menulis isu-isu ilmu pengetahuan dan kebijakan publik yang berhubungan dengan merokok dan hak-hak para perokok. Wanda juga tampil sebagai seorang komentator "pro-smokers' choice" di radio and televisi lokal, nasional, dan internasional. Wanda adalah seorang anggota FORCES.

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)

Proyek Prakarsa Bebas Tembakau dari WHO memberikan momentum yang tepat dan menguntungkan bagi korporasi-korporasi farmasi dalam persaingan tersebut. Setidak-tidaknya ada tiga keuntungan yang diperoleh: pertama, lewat proyek Prakarsa ini industri tembakau dapat dibunuh, setidak-tidaknya dapat dihambat perkembangannya; kedua, pada saat bersamaan industri farmasi dapat leluasa mempromosikan produk-produk therapi penggantian nikotin; ketiga, hal pertama dan kedua di atas dapat dilakukan melalui dan dengan dukungan badan dunia WHO melalui kebijakan dan regulasi yang mematikan industri tembakau dan menghidupkan industri farmasi yang menghasilkan dan menjual produk-produk therapi penggantian nikotin. Dengan dukungan WHO ini juga dua hal di atas dapat dilakukan secara global dan menerobos batas-batas kedaulatan suatu negara.

Ini nampak jelas dalam Advesory Kit WHO berjudul "Leave the Pack Behind" yang dirilis pada tahun 1999. Fokus kampanye WHO saat itu adalah "smoking cessation". Ya, mempromosikan produk-produk dari korporasi farmasi. Hal ini secara jelas dinyatakan Direktur Jenderal WHO, Brundtland dalam di advesory kit itu.

Dalam pesannya Brundtland menyatakan bahwa kita perlu agar semakin banyak yang berhasil berhenti merokok. Saat ini sudah ada treatment yang sangat sukses dengan biaya efektif. Kemudian Brundtland menyebut obat-obat pengganti nikotin seperti permen karet nikotin (nicotine gum), patches, nasa/spray dan inhalers, dan obat-obat non-nicotine seperti bupropion, yang menurut Brundtland punya peluang sukses dua kali lipat untuk menghentikan orang merokok. Dalam advesory kit itu tercantum pula bab khusus mengenai "Pharmacological aids to smoking cessation".

Bersamaan dengan itu berbagai kampanye tentang bahaya-bahaya tembakau gencar dilakukan. Melibatkan berbagai pihak. Mulai para ahli farmasi, para dokter, para politisi, para penggiat antitembakau, badan-badan nasional dan internasional. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari lobbying dan upaya menggolkan peraturan-peraturan larangan merokok dan larangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau ini. Umumnya biaya kampanye ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, didukung oleh korporasi-korporasi farmasi internasional, termasuk biaya kampanye yang diterima oleh para penggiat anti tembakau di Indonesia.

Tidak luput juga upaya menggalang dukungan dari agama-agama seperti pertemuan yang diadakan WHO dengan para pemuka agama dunia di kantor pusat WHO, Jenewa, pada tanggal 3 Mei 1999. Bagi WHO, agama merepresentasikan garis depan baru dalam mendukung suksesnya proyek Prakarsa Bebas Tembakau. Umumnya biaya untuk kampanye dan upaya ini berasal dari korporasi-korporasi farmasi.

Salah satu hal sangat penting dalam pelaksanaan proyek Prakarsa Bebas Tembakau adalah ketika WHO yang sejak awal pelaksanaan proyek telah didukung oleh korporasi-korporasi farmasi besar dunia, berhasil meletakkan landasan hukum internasional dalam memerangi tembakau dengan lahirnya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Konvensi ini adalah senjata hukum ampuh untuk mematikan industri tembakau dan meletakkan landasan hukum internasional bagi promosi dan perdangangan produk-produk obat pengganti nikotin yang dihasilkan dan dijual oleh korporasi-korporasi farmasi. Tidak-ada bisnis yang lebih aman dan nyaman daripada bisnis yang didukung oleh suatu lembaga internasional dan hukum internasional yang dibungkus rapih dan meyakinkan dengan bungkusan itikad baik demi kepentihgan kesehatan publik.

Maka, tidaklah heran ketika dalam Konvensi tersebut terdapat artikel khusus yang memberikan landasan hukum bagi kepentingan bisnis korporasi-korporasi farmasi sebagaimana tercantum dalam Pasal (Article) 14 di bawah judul  "Demand reduction measures concerning tobacco dependence and cessation" dan Pasal 22 yang merupakan rujukan dari Pasal 14.2 (d) Konvensi tersebut.

Hal ini nampak jelas dalam pencantuman Pasal 14 FCTC dalam Proposal for Inclusion of Nicotine Replacement Therapy in the WHO Model List of Essential Medicines yang diajukan dalam acara 17th Expert Committee on the Selection and Use of Essential Medicines di Geneva pada tanggal 23 Maret - 27 Maret 2009. Pasal 14 ini dijadikan sebagai dasar hukum internasional pengajuan proposal tersebut.

Proposal ini diajukan oleh Dr. Douglas Bettcher, Direktur Prakarsa Bebas Tembakau WHO yang mengajukan argumentasi bahwa NRT diakui efektif mendukung individu melepaskan rokok. Dua bentuk NRT yakni transdermalpatches dan chewing gums, dimasukkan dalam WHO Model List of Essential Medicines. Dengan dimasukkannya dua bentuk NRT itu dalam daftar model obat esensial WHO, maka dua bentuk NRT ini secara resmi diakui WHO sebagai obat-obat esensial untuk dapat digunakan oleh negara-negara yang meratifikasi FCTC dalam mengimplementasikan ketentuan Pasal 14 FCTC. Dengan kata lain, penjualan dua bentuk NRT ini mendapat pengakuan dan dukungan dari WHO lewat implementasi ketentuan Pasal 14 FCTC.

Fakta ini menunjukkan bahwa FCTC itu tidak lain daripada suatu senjata hukum yang ampuh yang digunakan korporasi farmasi internasional memenangkan kepentingan penjualan produk-produk NRT atau memenangkan "a strange bedfellows competition for shares of a new multibillion dollar long-term nicotine-maintanance market' seperti diungkapkan Kenneth Warner, John Slade, dan David Sweanor di atas.

Konvensi ini adalah senjata hukum ampuh untuk mematikan industri tembakau dan meletakkan landasan hukum internasional bag! promosi dan perdangangan produk-produk obat pengganti nikotin yang dihasilkan dan dijual oleh korporasi-korporasi farmasi. Tidak-ada bisnis yang lebih aman dan nyaman daripada bisnis yang didukung oleh suatu lembaga internasional dan hukum internasional yang dibungkus rapih dan meyakinkan dengan bungkusan itikad baik demi kepentihgan kesehatan publik.

(Bagian dari Epilog Nicotin War, Wanda Hamilton, INSISTPress 2010 oleh Gabriel Mahal,S,H, Advokat dan Pengamat Prakarsa Bebas Tembakau di Jakarta)
(sar/dir/rin)

8 Maret 2011

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Derajat Kesehatan Masyarakat


Dari skema yang digambarkan oleh Blum, maka dapat dijelaskan bahwa kesehatan manusia terdiri dari 3 dimensi yaitu : fisik, mental dan sosial. Ketiga dimensi di atas bersifat integrative, artinya ketika salah satu dimensi di atas tidak dimiliki oleh seseorang maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sehat sepenuhnya. Dari paparan di atas maka Blum menyatakan bahwa derajat kesehatan seseorang / masyarakat dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu ; 1. Environment (lingkungan). Lingkungan ini meliputi lingkungan fisik (baik natural atau buatan manusia), dan sosiokultur (ekonomi, pendidikan, pekerjaan dll). Pada lingkungan fisik, kesehatan akan dipengaruhi oleh kualitas sanitasi lingkungan dimana manusia itu berada. Hal ini dikarenakan banyak penyakit yang bersumber dari buruknya kualitas sanitasi lingkungan, misalnya ; ketersediaan air bersih pada suatu daerah akan mempengaruhi derajat kesehatan  karena air merupakan kebutuhan pokok manusia dan manusia selalu berinteraksi dengan air dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan lingkungan sosial berkaitan dengan kondisi perekonomian suatu masyarakat. Semakin miskin individu/masyarakat maka akses untuk mendapatkan derajat kesehatan yang baik maka akan semakin sulit. Contohnya : manusia membutuhkan makanan dengan gizi seimbang untuk mejaga kelangsungan hidup, jika individu/masyarakat berada pada garis kemiskinan maka akan sulit untuk memenuhi kebutuhan makanan dengan gizi seimbang. Demikian juga dengan tingkat pendidikan individu/masyarakat, semakin tinggi tingkat pendidikan individu/masyarakat maka pengetahuan untuk hidup sehat akan semakin baik. Kondisi 2. Life Styles, gaya hidup individu/masyarakat sangat mempengaruhi derajat kesehatan. Contohnya : dalam masyarakat yang mengalami transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, akan terjadi perubahan gaya hidup pada masyarakat tersebut yang akan mempengaruhi derajat kesehatan. Misalnya ; pada masyarakat tradisonal dimana sarana transportasi masih sangat minim maka masyarakat terbiasa berjalan kaki dalam beraktivitas, sehingga individu/masyarakat senantiasa menggerakkan anggota tubuhnya (berolah raga). Pada masyarakat modern dimana sarana transportasi sudah semakin maju, maka individu/masyarakat terbiasa beraktivitas dengan menggunakan transportasi seperti kendaraan bermotor sehingga individu/masyarakat kurang menggerakkan anggota tubunya (berolah raga). Kondisi ini dapat beresiko mengakibatkan obesitas pada masyarakat modern karena kurang berolah raga ditambah lagi kebiasaan masyarakat modern mengkonsumsi makanan cepat saji yang kurang mengandung serat.  Fakta di atas akan mengakibatkan transisi epidemiologis dari penyakit menular ke penyakit degeneratif. 3. Heredity, faktor genetic ini sangat berpengaruh pada derajat kesehatan. Hal ini karena ada beberapa penyakit yang diturunkan lewat genetic, seperti leukemia. Faktor hereditas sulit untuk diintervensi karena hal ini merupakan bawaan dari lahir dan jika dapat diintervensi maka harga yang dibayar sangat mahal. 4. Health Care Sevices, pelayanan kesehatan juga mempengaruhi derajat kesehatan. Pelayanan kesehatan disini adalah pelayanan kesehatan yang paripurna dan intregatif antara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Semakin mudah akses individu/masyarakat terhadap pelayanan kesehatan maka derajat kesehatan masyarakat akan semakin baik.

Contoh 4 Faktor yamg mempengaruhi Derajat Kesehatan :
  1. Environment.
·         Adanya sanitasi lingkungan yang baik akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. 
·         Semakin tinggi tingkat pendidikan individu/masyarakat maka pengetahuan akan cara hidup sehat akan semakin baik.
·         Ada norma agama pada umat Islam tentang  konsep haram terhadap alcohol akan menurunkan tingkat konsumsi alcohol.

  1. Life Styles
·         Perilaku merokok sejak usia dini akan meningkatkan resiko kanker paru
·         Kebiasaan melakukan konsep 3 M (menguras, mengubur, menutup) pada pencegahan DBD akan menurunkan prevalensi DBD.
·         Perilaku mengkonsumsi makanan cepat saji (junk food) akan meningkatkan resiko obesitas yang beresiko pada penyakit jantung.
  1. Heredity
·         Perkawinan antar golongan darah tertentu akan mengakibatkan leukemia.
·         Adanya kretinisme yang diakibatkan mutasi genetic

  1. Health Care Services
·         Adanya upaya promotif terhadap penularan HIV/AIDS akan menurunkan prevalensi HIV/AIDS.
·         Tersedianya sarana & prasaran kesehatan yang baik akan memudahkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkualitas.
·         Adanya asuransi kesehatan akan memudahkan individu/masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan.

Jika Dokter Bisa Dibeli dengan Uang

Pelayanan kesehatan sebagai salah satu bentuk jasa layanan, memiliki beberapa karateristik yang berbeda dengan bentuk layanan jasa yang lain. Karateristik pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut :
1.      Consumer ignorance / ketidaktahuan konsumen
2.      Supply induced demand / pengaruh penyedia jasa kesehatan terhadap konsumen (konsumen tidak memiliki daya tawar dan daya pilih)
3.      Produk pelayanan kesehatan bukan konsep homogen
4.      Pembatasan terhadap kompetisi
5.      Ketidakpastian tentang sakit

Dari karateristik di atas maka dapat disimpulkan bahwa posisi konsumen pelayanan kesehatan (pasien) tidak memiliki nilai tawar dihadapan provider kesehatan (dokter, perawat dan tenaga medis lainnya). Ketidak seimbangan posisi antara konsumen dan provider kesehatan dapat mengakibatkan terjadinya kasus malpraktek.

Istilah malpraktek digunakan kalangan profesi untuk mengambarkan kelalaian, penyimpangan, kesalahan, atau ketidakmampuan praktik profesi sesuai dengan standar operasional yang ada dan berakibat merugikan konsumen (dalam hal ini konsumen pelayanan kesehatan-pasien).

Dari definisi diatas tentang malpraktek, malpraktek sering terjadi karena relasi antara dokter dan pasien yang tidak seimbang. Pasien datang ke dokter dengan segala pengharapan untuk penyembuhan sakit yang dialaminya dan mengganggap dokter sebagai ”dewa” yang dapat menolongnya, sehingga pasien memasrahkan sepenuhnya tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tanpa mengetahui akibat dari tindakan medis yang dilakukan terhadap dirinya.

Dokter selaku provider kesehatan tidak selamanya memiliki willingnes & commitment dalam melakukan tindakan medis. Ada beberapa tipe dokter di Indonesia, yaitu ; 
1. Dokter angin puyuh, yang memiliki banyak pasien sehingga tidak memiliki banyak waktu dalam memeriksa pasien. Hal ini mengakibatkan diagnosis yang diberikan dapat salah dan merugikan pasien. Tindakan semacam ini harus diberi catatan khusus, sebab pasien bukan hanya sebagai objek mekanik yang dapat diperlakukan sebagaimana memperlakukan mesin. Karateristik setiap pasien berbeda-beda sehingga terapi yang diberikan harus berbeda. 
2. Dokter Ban Berjalan, contohnya adalah dokter kebidanan yang memiliki pasien rata-rata 30 orang, sedangkan waktu prakteknya hanya dua jam. Sehingga pasien disuruh antri di beberapa tempat tidur sekaligus. Saat dokter melakukan pemeriksaan di tempat tidur pertama, maka pasien lain disuruh buka baju. Setelah dia selsai dengan pasien pertama maka dia akan berjalan menuju pasien berikutnya dan begitu seterusnya. 
3. Dokter Memukul Angin, dimana dalam pemeriksaan terhadap pasien, dokter tersebut langsung memutuskan seorang pasien dioperasi atau tidak tanpa meminta persetujuan dari pasien atau keluarga pasien. Hal ini jelas suatu tindakan malpraktek sebab tanpa meminta inform concern dari pasien atau keluarga pasien, dokter langsung memutuskan sebuah tindakan medis. 
4. Dokter Pesanan, biasanya dokter ini akan memberikan resep kepada pasien tanpa melihat kondisi sosial ekonomi pasien. Dokter akan meresepkan obat-obat mahal berdasarkan pesanan dari pabrik farmasi, karena dari resep itu dokter akan mendapatkan insentif yang besar dari pabrik farmasi.
Hal ini jelas bertentangan dengan kode etik seorang dokter yang telah disumpah dengan sumpah profesi.

Falsafah etika kedokteran

Telah terjadi perubahan pradigma, jasa pelayanan kesehatan tidak berbeda dengan komoditi jasa lain. Perubahan paradigma ini tentu mengubah hubungan pasien-dokter.

Seorang pasien ingin tahu buat apa ia membayar. Jika ia membayar karena ingin sembuh malah meninggal, apakah ia berhak mengklaim kerugian pada dokternya?
Apalagi, jika ada kesan kelalaiaan dokter. Pasien berhak mengajukan dokternya ke pengadilan. Sejauh ini, pasien sering kalah. Masyarakat menilai, perlindungan terhadap pasien masih kurang. Mengapa pasien selalu dikalahkan? Sebaba, pembuktian tuduhan malpraktek tidak mudah. Kasus yang dianggap malpraktek sebenarnya bukan malpraktek.

Lantas, apa syarat mengajukan malpraktek?

Pertama, dokter yang dituntut adalah dokter yang benar bertugas memberi pertolongan. Pembuktian masalah ini mungkin tidak sulit.
Kedua, dokter itu telah melakukan tindakan medik yang tidak sesuai dengan standar medik. Pembuktiaan masalah ini tidak mudah. Di indonesia, belum ada standar medik. Pembuktian masalah ini tidak mudah. Apalagi, di indonesia, belum ada standar yang dapat menjadi rujukan semua dokter. Otonomi dokter amat besar sehingga aspek profesi sulit di intervensi.
Ketiga, tindakan dokter harus bisa membuktikan merugikan pasien. Hal ini tidak mudah, mengingat akan sulit bagi profesi di luar kedokteran untuk membuktikan kerugian itu.
Meski demikian, kasus-kasus malpraktek pasti akan tambah banyak. Profesi kedokteran, seperti profesi lain, terbuka peluang ada kelalaian atau malpraktek. Paradigma lingkungan kesehatan yang kian mengikuti kaidah ekonomi mendorong praktik kedokteran juga kian mengikuti kaidah ekonomi. Untung–rugi kian menjadi pertimbangan hubungan pasien-dokter.

Kecenderungan seperti dikemukakan di atas agaknya sulit dihindari. Kaidah ekonomi akan menempatkan dokter tidak hanya melandasi tindakan mediknya pada ilmu dan etika kedokteran, tetapi juga kaidah ekonomi.
Hal ini mengikuti perkembangan industri kedokteran, yang kian mahal. “wajah komersial” tidak terhindarkan. Apakah industri akan dibiarkan berkembang mengikuti kaidah ekonomi atau perlu intervensi untuk mengerem kecenderugan seperti itu?
Perubahan status rumah sakit pemerintah menjadi badan usaha milik negara membuktikan pemerintah mendorong kecenderungan  komersialisasi. Demikian juga status hukum rumah sakit swasta, yang terbuka peluang menjadi for profit, akan membuka peluang praktik kedokteran tidak hanya merujuk ilmu dan etika kedokteran,  tetapi  juga kaidah ekonomi. Semua itu akan mendorong malpraktek kian luas. Kecenderungan overutilization atau unncessary utilization akan kian luas guna memenuhi kaidah ekonomi.

Dokter dan rumah sakit tentu juga ingin aman dari kemungkinan tuduhan malpraktek. Karena tuntunan malpraktek sering berwujud sejumlah uang, maka baik dokter maupun rumah sakit ingin memiliki kemampuan membayar tuntutan itu.
Risiko terhadap tuntutan malpraktek, melahirkan bisnis baru, yaitu asuransi malpraktek. Dokter atau rumah sakit akan membebankan  premi malpraktek, pada pasien. Dengan demikian, biaya pelayanan kesehatan akan kian mahal. Sebab, besarnya premi, selain tergantung pada kejadian malpraktek, juga ada biaya pengacara dan proses hukum,faktor keuntungan dan cadangan tehnis, biaya operasi perusahaan asurasi, dan sebagainya yang ternyata tidak sedikit.

Jika semua itu dibiarkan berkembang, tidak mustahil akan mendorong biaya pelayanan kesehatan kian meningkat tajam dan akhirnya merugikan sebagiaan besar masyarakat karena harus membayar mahal biaya pelayanan kesehatan serta premi asuransi kesehatan.

Untuk menghindari dampak buruk, kiranya perlu ada prosedur agar masyarakat terlindung dari beban yang berlebihan. Hal ini disebabkan pembuktian terhadap malpraktek tidak mudah.

Akan amat melindungi pasien dan dokter jika tuduhan malpraktek, pada tingkat pertama, diselesaikan melalaui (semacam) dewa kehormatan profesi yang akan meneliti tuduhan itu.
Hanya dewan kehormatan profesi berhak memberi rekomendasi kelajutan proses hukum malpraktek. Hal ini penting guna perlindungan pasien, sekaligus dokter atau rumah sakit. Dengan prosedur seperti itu, biaya kasus malpraktek dapat dikendalikan.

Daftar Pustaka :
  1. www.sinarharapan.com
  2. www.mediakonsumen.com
  3. www.indosiar.com