8 Maret 2011

Jika Dokter Bisa Dibeli dengan Uang

Pelayanan kesehatan sebagai salah satu bentuk jasa layanan, memiliki beberapa karateristik yang berbeda dengan bentuk layanan jasa yang lain. Karateristik pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut :
1.      Consumer ignorance / ketidaktahuan konsumen
2.      Supply induced demand / pengaruh penyedia jasa kesehatan terhadap konsumen (konsumen tidak memiliki daya tawar dan daya pilih)
3.      Produk pelayanan kesehatan bukan konsep homogen
4.      Pembatasan terhadap kompetisi
5.      Ketidakpastian tentang sakit

Dari karateristik di atas maka dapat disimpulkan bahwa posisi konsumen pelayanan kesehatan (pasien) tidak memiliki nilai tawar dihadapan provider kesehatan (dokter, perawat dan tenaga medis lainnya). Ketidak seimbangan posisi antara konsumen dan provider kesehatan dapat mengakibatkan terjadinya kasus malpraktek.

Istilah malpraktek digunakan kalangan profesi untuk mengambarkan kelalaian, penyimpangan, kesalahan, atau ketidakmampuan praktik profesi sesuai dengan standar operasional yang ada dan berakibat merugikan konsumen (dalam hal ini konsumen pelayanan kesehatan-pasien).

Dari definisi diatas tentang malpraktek, malpraktek sering terjadi karena relasi antara dokter dan pasien yang tidak seimbang. Pasien datang ke dokter dengan segala pengharapan untuk penyembuhan sakit yang dialaminya dan mengganggap dokter sebagai ”dewa” yang dapat menolongnya, sehingga pasien memasrahkan sepenuhnya tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tanpa mengetahui akibat dari tindakan medis yang dilakukan terhadap dirinya.

Dokter selaku provider kesehatan tidak selamanya memiliki willingnes & commitment dalam melakukan tindakan medis. Ada beberapa tipe dokter di Indonesia, yaitu ; 
1. Dokter angin puyuh, yang memiliki banyak pasien sehingga tidak memiliki banyak waktu dalam memeriksa pasien. Hal ini mengakibatkan diagnosis yang diberikan dapat salah dan merugikan pasien. Tindakan semacam ini harus diberi catatan khusus, sebab pasien bukan hanya sebagai objek mekanik yang dapat diperlakukan sebagaimana memperlakukan mesin. Karateristik setiap pasien berbeda-beda sehingga terapi yang diberikan harus berbeda. 
2. Dokter Ban Berjalan, contohnya adalah dokter kebidanan yang memiliki pasien rata-rata 30 orang, sedangkan waktu prakteknya hanya dua jam. Sehingga pasien disuruh antri di beberapa tempat tidur sekaligus. Saat dokter melakukan pemeriksaan di tempat tidur pertama, maka pasien lain disuruh buka baju. Setelah dia selsai dengan pasien pertama maka dia akan berjalan menuju pasien berikutnya dan begitu seterusnya. 
3. Dokter Memukul Angin, dimana dalam pemeriksaan terhadap pasien, dokter tersebut langsung memutuskan seorang pasien dioperasi atau tidak tanpa meminta persetujuan dari pasien atau keluarga pasien. Hal ini jelas suatu tindakan malpraktek sebab tanpa meminta inform concern dari pasien atau keluarga pasien, dokter langsung memutuskan sebuah tindakan medis. 
4. Dokter Pesanan, biasanya dokter ini akan memberikan resep kepada pasien tanpa melihat kondisi sosial ekonomi pasien. Dokter akan meresepkan obat-obat mahal berdasarkan pesanan dari pabrik farmasi, karena dari resep itu dokter akan mendapatkan insentif yang besar dari pabrik farmasi.
Hal ini jelas bertentangan dengan kode etik seorang dokter yang telah disumpah dengan sumpah profesi.

Falsafah etika kedokteran

Telah terjadi perubahan pradigma, jasa pelayanan kesehatan tidak berbeda dengan komoditi jasa lain. Perubahan paradigma ini tentu mengubah hubungan pasien-dokter.

Seorang pasien ingin tahu buat apa ia membayar. Jika ia membayar karena ingin sembuh malah meninggal, apakah ia berhak mengklaim kerugian pada dokternya?
Apalagi, jika ada kesan kelalaiaan dokter. Pasien berhak mengajukan dokternya ke pengadilan. Sejauh ini, pasien sering kalah. Masyarakat menilai, perlindungan terhadap pasien masih kurang. Mengapa pasien selalu dikalahkan? Sebaba, pembuktian tuduhan malpraktek tidak mudah. Kasus yang dianggap malpraktek sebenarnya bukan malpraktek.

Lantas, apa syarat mengajukan malpraktek?

Pertama, dokter yang dituntut adalah dokter yang benar bertugas memberi pertolongan. Pembuktian masalah ini mungkin tidak sulit.
Kedua, dokter itu telah melakukan tindakan medik yang tidak sesuai dengan standar medik. Pembuktiaan masalah ini tidak mudah. Di indonesia, belum ada standar medik. Pembuktian masalah ini tidak mudah. Apalagi, di indonesia, belum ada standar yang dapat menjadi rujukan semua dokter. Otonomi dokter amat besar sehingga aspek profesi sulit di intervensi.
Ketiga, tindakan dokter harus bisa membuktikan merugikan pasien. Hal ini tidak mudah, mengingat akan sulit bagi profesi di luar kedokteran untuk membuktikan kerugian itu.
Meski demikian, kasus-kasus malpraktek pasti akan tambah banyak. Profesi kedokteran, seperti profesi lain, terbuka peluang ada kelalaian atau malpraktek. Paradigma lingkungan kesehatan yang kian mengikuti kaidah ekonomi mendorong praktik kedokteran juga kian mengikuti kaidah ekonomi. Untung–rugi kian menjadi pertimbangan hubungan pasien-dokter.

Kecenderungan seperti dikemukakan di atas agaknya sulit dihindari. Kaidah ekonomi akan menempatkan dokter tidak hanya melandasi tindakan mediknya pada ilmu dan etika kedokteran, tetapi juga kaidah ekonomi.
Hal ini mengikuti perkembangan industri kedokteran, yang kian mahal. “wajah komersial” tidak terhindarkan. Apakah industri akan dibiarkan berkembang mengikuti kaidah ekonomi atau perlu intervensi untuk mengerem kecenderugan seperti itu?
Perubahan status rumah sakit pemerintah menjadi badan usaha milik negara membuktikan pemerintah mendorong kecenderungan  komersialisasi. Demikian juga status hukum rumah sakit swasta, yang terbuka peluang menjadi for profit, akan membuka peluang praktik kedokteran tidak hanya merujuk ilmu dan etika kedokteran,  tetapi  juga kaidah ekonomi. Semua itu akan mendorong malpraktek kian luas. Kecenderungan overutilization atau unncessary utilization akan kian luas guna memenuhi kaidah ekonomi.

Dokter dan rumah sakit tentu juga ingin aman dari kemungkinan tuduhan malpraktek. Karena tuntunan malpraktek sering berwujud sejumlah uang, maka baik dokter maupun rumah sakit ingin memiliki kemampuan membayar tuntutan itu.
Risiko terhadap tuntutan malpraktek, melahirkan bisnis baru, yaitu asuransi malpraktek. Dokter atau rumah sakit akan membebankan  premi malpraktek, pada pasien. Dengan demikian, biaya pelayanan kesehatan akan kian mahal. Sebab, besarnya premi, selain tergantung pada kejadian malpraktek, juga ada biaya pengacara dan proses hukum,faktor keuntungan dan cadangan tehnis, biaya operasi perusahaan asurasi, dan sebagainya yang ternyata tidak sedikit.

Jika semua itu dibiarkan berkembang, tidak mustahil akan mendorong biaya pelayanan kesehatan kian meningkat tajam dan akhirnya merugikan sebagiaan besar masyarakat karena harus membayar mahal biaya pelayanan kesehatan serta premi asuransi kesehatan.

Untuk menghindari dampak buruk, kiranya perlu ada prosedur agar masyarakat terlindung dari beban yang berlebihan. Hal ini disebabkan pembuktian terhadap malpraktek tidak mudah.

Akan amat melindungi pasien dan dokter jika tuduhan malpraktek, pada tingkat pertama, diselesaikan melalaui (semacam) dewa kehormatan profesi yang akan meneliti tuduhan itu.
Hanya dewan kehormatan profesi berhak memberi rekomendasi kelajutan proses hukum malpraktek. Hal ini penting guna perlindungan pasien, sekaligus dokter atau rumah sakit. Dengan prosedur seperti itu, biaya kasus malpraktek dapat dikendalikan.

Daftar Pustaka :
  1. www.sinarharapan.com
  2. www.mediakonsumen.com
  3. www.indosiar.com

1 komentar:

  1. Problem matik dunia medis indonesia, karena sistem tidak memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja medis. Replubik ini sudah gila, pasien bayar berobat mahal, tapi dokternya cuma dapat 5000 rupiah - 10.000 rupiah. Mafia Kesehatan merongrong rakyat dan profesi medis, sementara si mafia menikmati jarahannya.

    BalasHapus